Friday 25 June 2010

Tradisi Kasta dan nama orang Bali

Seperti yg kita ketahui, sebagian besar masyarakat Bali memeluk agama Hindu. Atas dasar itulah sampai sekarang system kasta masih dapat dijumpai di Bali. Kasta merupakan peninggalan nenek moyang orang hindu diBali yg diwariskan dari generasi ke generasi. Pada zaman dahulu, kasta itu dibuat berdasarkan profesi masyarakat. Sampai saat ini diBali ada 4 kasta yaitu:

Brahmana, Ksatrya, Wesya dan Sudra

-Kasta Brahmana merupakan kasta dari masyarakat yg mempunyai profesi yg bergerak dibidang religi/agama seperti Pendeta. Dimana sampai sekarang mereka diberi gelar/title Ida Bagus (laki-laki) dan Ida Ayu (perempuan).

-Ksatrya; kasta dari masyarakat yg berprofesi sebagai abdi Negara/kerajaan (zaman dulu), yg diberi gelar Anak Agung.

-Wesya; kasta dari masyarakat yg berprofesi sebagai prajurit. Mereka diberi gelar Gusti Bagus (laki-laki) dan Gusti Ayu (perempuan).

-Sudra; ini adalah kasta yg terakhir diBali, dimana kasta Sudra tidak mempunyai gelar, mereka hanya dberi nama menurut urutan kelahiran seperti; Wayan (anak pertama), Made (kedua), Nyoman (ketiga) dan Ketut (keempat). Jika ada yg mempunyai lebih dari 4 orang anak namanya akan kembali lagi keurutan pertama (wayan), begitupun seterusnya.

Pada zaman dahulu masyarakat di Bali tidak boleh menikah dengan kasta yg berbeda. Seiring perkembangan zaman, aturan itu tidak berlaku lagi untuk saat ini. Mereka boleh menikah dengan kasta yg berbeda dengan syarat kasta yg perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.



TRANSFORMASI KEKUASAAN SEBAGAI DAMPAK GLOBALISASI

(Study pada memudarnya sistem kasta di Karangasem)

1. Latar Belakang

Makalah ini mengambil tema transformasi kekuasaan dengan mengambil studi kasus pada memudarnya sistem kasta di Bali. Dimana dalam makalah ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana globalisasi memberikan pengaruh terhadap memudarnya sistem kasta yang begitu mengakar dalam masyarakat Bali.

Penulisan makalah ini dilatarbelakangi oleh konsep bahwa kekuasaan merupakan sesuatu hal yang selalu diperebutkan di masyarakat dengan menguasai sumber-sumber kekuasaan yang ada di masyarakat. Kekuasaan akan selalu diperebutkan karena dengan kekuasaan seseorang akan dapat melakukan kepentingan politiknya dan bahkan menuntut kepatuhan dari seseorang. Sebagaimana pendapat dari Haryanto bahwa :

kekuasaan yang ada pada genggaman penguasa dapat dipergunakan untuk meredam agar kelompok yang seharusnya tunduk dan patuh tidak mengadakan gugatan atau perlawanan; dengan kekuasaan, kelompok yang disebut belakangan, suka atau tidak suka, dipaksa untuk tunduk dan patuh terhadap tatanan atau kebijaksanaan yang berlaku.
Masyarakat Bali dengan bentuk kehidupannya yang telah berjalan secara turun temurun sangat kuat pola patrimonialismenya yang ditandai dengan adanya sistem kasta. Dengan kuatnya pola itu menyebabkan berbagai pemahaman terhadap kejadian selalu bersifat Purisentris, yang mengakibatkan apapun selalu menguntungkan keluarga Puri, seperti contoh : jika ibu ada yang melahirkan anak kembar buncing maka pada jaman dahulu ibu tersebut dan suaminya beserta anak-anaknya dalam beberapa waktu harus diasingkan, biasanya akan diharuskan tinggal di dekat kuburan desa sedangkan jika keluarga Puri yang melahirkan kembar buncing, maka akan ada pesta yang sangat meriah karena dianggap berkah dan seluruh warga masyarakat wajib untuk datang ke Puri untuk ngaturang ayah.

Suatu perubahan yang terjadi pada ranah masyarakat lokal memang tidak bisa dilepaskan pada situasi yang terjadi secara nasional maupun global, namun perubahan cara kehidupan masyarakat lokal terutama pada daerah urban sangat mempengaruhi perubahan yang terjadi tersebut, karena dengan adanya arus urbanisasi berbagai pengaruh dapat ditimbulkannya termasuk cara pandang masyarakat terhadap pola kehidupan yang telah ada sebelumnya.

Sebagaimana yang diketahui Bali merupakan daerah yang menjadi daerah tujuan pariwisata dunia yang tentunya akan berarti mengalami tekanan dari globalisasi dengan sangat kuat dan intensif. Globalisasi merupakan bentuk perkembangan dunia yang tidak dapat dihindari, namun perkembangan dunia tersebut menimbulkan berbagai pengaruh yang sangat besar pada kehidupan masyarakat di dunia.

Berbagai pergeseran baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya terjadi begitu cepat dan tidak ada yang dapat menghindarinya. Arus informasi, barang, uang maupun manusia bergerak sangat cepat sehingga seakan-akan tidak ada lagi batas di dunia ini. Globalisasi yang terjadi memang menimbulkan berbagai effek positif bagi perkembangan dunia, namun tidak dapat dipungkiri effek negatifnya pun tidak kalah banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat di dunia termasuk di Bali ditandai dengan memudarnya budaya Bali itu sendiri.

Salah satu bentuk pergeseran yang terjadi di Bali khususnya Karangasem adalah terjadinya pemudaran terhadap sistem kasta, dimana dalam kehidupan masyarakat Bali keberadaan sistem kasta akan menimbulkan stratifikasi kekuasaan. Namun globalisasi memberikan dampak bahwa terjadi perubahan cara pandang masyarakat Karangasem terhadap sistem kasta sehingga melahirkan sebuah transformasi kekuasaan pada masyarakat Karangasem selain juga karena pengaruh dari sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia.

Untuk memfokuskan penulisan makalah ini maka akan ditekankan pada diskripsi transformasi kekuasaan masyarakat Karangasem yang terjadi akibat pengaruh globalisasi.

2. Rumusan Masalah

Dari rumusan latar belakang yang telah disampaikan di depan, maka rumusan masalah yang disampaikan dalam makalah ini adalah : "bagaimana bentuk transformasi kekuasaan yang terjadi pada masyarakat Karangasem-Bali sebagai akibat dari pengaruh globalisasi?"
3. Kerangka Pemikiran

Untuk menggambarkan terjadinya transformasi kekuasaan akibat pengaruh globalisasi yang terjadi pada masyarakat Karangasem maka akan digambarkan sebagai berikut :

Dengan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa masuknya pengaruh globalisasi pada masyarakat Karangasem yang pada akhirnya melahirkan perubahan yang terjadi pada masyarakat baik itu dari segi politik, ekonomi, dan sosial budaya. Akibat perubahan tersebut pula berdampak pada cara pandang masyarakat terhadap sistem kasta. Dengan adanya perubahan masyarakat terhadap cara pandang terhadap sistem kasta yang kemudian akhirnya melahirkan transformasi kekuasaan pada masyarakat Karangasem.

4. Sistem Kekuasaan di Bali

Dalam sistem kasta di Bali dikenal dengan adanya pengelompokan masyarakat ke dalam 4 (empat) kasta yakni : Brahmana, Ksatriya, Weisya, dan Sudra. Dalam hubungan keempat kasta ini masyarakat yang berasal dari kasta triwangsa, yakni yang berasal dari kasta brahmana, ksatriya, dan weisya sangat memegang peranan
dalam kehidupan masyarakat Bali, bahkan dalam era otonomi daerah dengan pelaksanaan Pilkada peranan kasta triwangsa juga sangat berperan penting dalam masyarakat untuk memilih Bupati/Wakil Bupati.

Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi. Dalam penggolongan kasta di Bali dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu:

a. kasta Brahmana.

Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan "Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan". Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan griya.

b. Kasta Ksatriya

Kasta ini merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan menggunakan nama "Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa". Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan Puri.

c. kasta Wesya

Masyarakat Bali yang berasal dari kasta ini merupakan orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan keturunan raja-raja terdahulu. Masyarakat yang berasal dari kasta ini biasanya merupakan keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti. Dinama untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan Jero.

d. Kasta Sudra

Kasta Sudra merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dinama masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa. Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut :

- Untuk anak pertama : Gede, Putu, Wayan.

- Untuk anak kedua : Kadek, Nyoman, Nengah

- Untuk anak ketiga : Komang

- Untuk anak keempat : Ketut

Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan umah.

Dengan uraian yang telah disampaikan di atas dalam penulisan makalah ini yang dimaksud dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat Bali adalah struktur yang tercipta dalam kehidupan masyarakat Bali yang menciptakan elit-elit lokal dalam kehidupan masyarakat Bali. Dimana terbentuknya struktur kekuasaan tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor budaya sebagai warisan leluhur masyarakat Bali melalui sistem kasta, yang dapat digambarkan sebagai berikut :

5. Transformasi Kekuasaan akibat pengaruh globalisasi di Karangasem

Menurut Agus Salim Pola perubahan sosial ada dua macam yaitu yang datang dari negara (state) dan yang datang dari bentuk pasar bebas (free market). Perubahan yang dikelola oleh pemerintah berorientasi pada ekonomi garis komando yang datang secara terpusat, sedangkan dari pasar bebas-campur tangan pemerintah sangat terbatas. Negara memberi pengaruhnya secara tidak langsung, sehingga pasar bebas lebih dominan.

Jika pada bagian struktur kekuasaan masyarakat Bali telah disampaikan bagaimana sistem kekuasaan Bali melalui sistem kasta, namun setelah mendapat pengaruh globalisasi kehidupan masyarakat Bali yang diwujudkan dalam usaha pengalihan sistem kasta menjadi sistem warna. Adapun gambaran mengenai sistem warna dapat dijelaskan sebagai berikut.

Bagi sebagian orang di Indonesia dan mungkin sebagian masyarakat Bali tidak mengenal sistem Warna dalam masyarakat Bali karena selama ini mengenal bahwa sistem pembagian masyarakat Bali hanya berdasarkan kasta saja. Namun tidak dapat dipungkiri memang kasta telah menjadi suatu sistem pengelompokan dan pemetaan kuasa masyarakat di Bali.

Warna adalah suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja sebagai seorang pendeta atau menjalankan fungsi-fungsi kependetaan maka dia akan berfungsi sebagai warna brahmana, jika orang tersebut bekerja sebagai pemimpin di masyarakat maka dia akan berfungsi sebagai wangsa ksatriya, atau jika seseorang bekerja sebagai seorang pejabat penting lainnya dia akan disebut sebagai orang yang menjalankan warna weisya, dan jika seseorang yang melaksanakan pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh atau tenaga lepas dari seseorang maka ia dikatakan sebagai seseorang yang menjalankan fungsi sebagai warna sudra.

Akhir-akhir ini perdebatan mengenai kasta dan warna di Bali semakin menuai banyak pendapat, baik itu yang bersifat menerima apa adanya sebagai warisan leluhur, ada yang mencoba mengkritisi sebagai bentuk protes sosial dan upaya untuk menciptakan sirkulasi elit, ada yang mencoba memilahnya sesuai dengan situasi yang ada misalnya menerapkan konsep kasta ketika pada situasi adat istiadat namun menerima sistem warna sebagai praktek dalam kehidupan modern, dan terakhir ada yang menganggap bukan permasalahan serius ketika kekuasaan bisa diraih dengan berbagai macam cara.

Salah satu pendapat yang mencoba mengkritisi kasta dan warna, sebagaimana yang disampaikan oleh Made Kembar Kerepun, bahwa sistem Kasta di Bali merupakan sebuah rekayasa yang dibuat oleh masyarakat di Bali yang sangat cerdas dimana untuk menguatkan rekayasa tersebut para masyarakat yang disebut dengan aktor cerdas tersebut dengan sengaja membuat acuan-acuan dalam teks yang dalam kehidupan masyarakat Bali disebut dengan lontar yang bertujuan untuk membuat perlindungan utuk menguatkan rekayasa tersebut, dimana penulis mengemukakan sebagai payung hukum, dan pembenar. Made Kembar juga menyampaikan bahwa dengan adanya rekayasa tersebut telah merugikan, mensubordinasi, memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kaum di luar lingkungan Tri Wangsa dalam kehidupan sehari-hari.

Di Karangasem sendiri tranformasi kekuasaan pada masyarakat ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pada pemegang kekuasaan. Dimana pada kekuasaan dengan sistem kasta menempatkan Puri Karangasem sebagai penguasa penuh, namun dengan adanya pengaruh pandangan baru terhadap masyarakat Karangasem merubah peta kekuasaan itu sendiri yang ditandai dengan lahirnya elit-elit baru di masyarakat Karangasem.

Hal ini ditunjukkan dengan sudah 3 (tiga) generasi Bupati tidak pernah dijabat oleh keluarga Puri Karangasem. Ketika memasuki masa kemerdekaan Indonesia, keturunan Puri Karangasem tersebut yang menjadi Bupati pertama Karangasem adalah anak pertama AAAA Ketut Karangasem, yakni Anak Agung Gede Jelantik. AA Gede Jelantik sempat digantikan oleh kalangan bukan Puri Gede (Puri Karangasem), yakni I Gusti Lanang Rai. Pengganti I Gusti Lanang Rai kembali berasal dari Puri Gede, yaitu Anak Agung Gede Karang-ayah AA Arya Mataram-hingga 2,5 kali masa jabatan (12 tahun) menjadi Bupati Karangasem.

Setelah masa itu, dari Puri Karangasem tidak ada lagi yang menjabat sebagai Bupati Karangasem. Mulai tahun 1970-an masa partai-partaian, tiga bupati di Karangasem tidak berasal dari puri dan biasanya jatah polisi. Bupati tersebut adalah I Ketut Merta, Sm.ik, kemudian pasca reformasi dijabat oleh Drs. I Gede Sumantara Adi Prenata, dan I Wayan Geredeg.

Selain dari dominasi terhadap jabatan Bupati, indikasi terhadap memudarnya kekuasaan Puri Karangasem juga bisa dilihat dari munculnya elit-elit baru yang mampu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat Karangasem. Dengan pengaruh globalisasi dengan sistem kapitalismenya adanya elit baru di bidang ekonomi tersebut membuat terjadinya pergeseran pandangan masyarakat terhadap siapa yang berkuasa, karena dengan melihat kondisi perekonomian masyarakat Karangasem maka masyarakat akan cenderung "ikut" pada pemilik modal. Beberapa elit ekonomi baru yang muncul di Karangasem seperti : Gusti Tusan, Suryanata Sari, dan I Wayan Geredeg. Gambaran transformasi kekuasaan yang terjadi adalah sebagai berikut :


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya transformasi kekuasaan di Karangasem salah satunya mendapat pengaruh dari globalisasi yang memberikan cara pandang baru termasuk melahirkan kapitalisme. Dimana transformasi kekuasaan tersebut ditandai dengan adanya elit-elit baru yang mampu menggeser dari kekuasaan Puri yang berasal dari sistem kasta. Selain itu transformasi kekuasaan juga melahirkan diperjuangkannya sistem warna sebagai sebuah bentuk hubungan dalam masyarakat.

Sunday 20 June 2010

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan

Ontologi

Ontologi ialah hakikat apa yang dikaji atau ilmunya itu sendiri. Seorang filosof yang bernama Democritus menerangkan prinsip-prinsip materialisme mengatakan sebagai berikut :

Hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Artinya, objek penginderaan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata.

Jadi istilah “manis, panas dan dingin” itu hanyalah merupakan terminology yang kita berikan kepada gejala yang ditangkap dengan pancaindera.

Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam semesta ini seperti adanya, oleh karena itu manusia dalam menggali ilmu tidak dapat terlepas dari gejala-gejala yang berada didalamnya.

Dan sifat ilmu pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam mememecahkan masalah tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Sekalipun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi. Sebagai contoh, bagaimana kita mendefinisikan manusia, maka berbagai penegertianpun akan muncul pula.

Contoh : Siapakah manusia iu ? jawab ilmu ekonomi ialah makhluk ekonomi

Sedang ilmu politik akan menjawab bahwa manusia ialah political animal dan dunia pendidikan akan mengatakan manusia ialah homo educandum.

Epistemologi

Yang dimaksud dengan epistimologi ialah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan pengetahuan ialah :

1. Batasan kajian ilmu : secara ontologis ilmu membatasi pada Pengkajian objek yang berada dalam lingkup manusia tidak dapat mengkaji daerah yang bersifat transcendental.
2. Cara menyusun pengetahuan : untuk mendapatkan pengetahuan menjadi ilmu diperlukan cara untuk menyusunnya yaitu dengan cara menggunakan metode ilmiah.
3. Diperlukan landasan yang sesuai dengan ontologis dan aksiologis ilmu itu sendiri
4. Penjelasan diarahkan pada deskripsi mengenai hubungan berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi penyebab timbulnya suatu gejala dan proses terjadinya.
5. Metode ilmiah harus bersifat sistematik dan eksplisit
6. Metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak tergolong pada kelompok ilmu tersebut.
7. Ilmu mencoba mencari penjelasan mengenai alam dan menjadikan kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal.
8. Karakteristik yang menonjol kerangka pemikiran teoritis :

a. Ilmu eksakta : deduktif, rasio, kuantitatif

b. Ilmu social : induktif, empiris, kualitatif

Aksiologi

Aksiologi ialah menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.

Contoh kasus : penelitian di Taiwan

Dampak kemajuan teknologi moderen telah diteliti dengan model penelitian yang terintegrasi, khususnya terhadap masyarakat dan budaya. Hasil kemajuan teknologi di Taiwan telah membawa negara itu mengalami “keajaiban ekonomi”, sekalipun demikian hasilnya tidak selalu positif. Kemajuan tersebut membawa banyak perubahan kebiasaan, tradisi dan budaya di Taiwan. Berdasarkan penelitian tersebut terdapat lima hal yang telah berubah selama periode perkembangan teknologi di negara tersebut yaitu :

1. Perubahan-perubahan dalam struktur industri berupa meningkatnya sektor jasa dan peranan teknologi canggih pada bidang manufaktur.
2. Perubahan-perubahan dalam sruktur pasar berupa pasar menjadi semakin terbatas, sedang pengelolaan bisnis menjadi semakin beragam.
3. Perubahan-perubahan dalam struktur kepegawaian berupa tenaga professional yang telah terlatih dalam bidang teknik menjadi semakin meningkat.
4. Perubahan-perubahan struktur masyarakat berupa meningkatnya jumlah penduduk usia tua dan konsep “keluarga besar” dalam proses diganti dengan konsep “keluarga kecil”.
5. Perubahan-perubahan dalam nilai-nilai sosial berupa penghargaan yang lebih tinggi terhadap keuntungan secara ekonomis daripada masalah-masalah keadilan, meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk bersikap individualistik.

Lalu apa maksudnya Aksiologi ? Jangan menurut saya yah..Menurut si Louis Kattsof aja lah (1992:327) dia mendefinisikan bahwa Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat segala sesuatu. Di dunia ini terdapat banyak pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah nilai yang khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan apistimologi. Estetika berhubungan dengan masalah keindahan, etika berhubungan dengan masalah kebaikan, dan epistimologi berhubungan dengan masalah kebenaran.

Permasalahan tentang "hakikat nilai" dapat di jawab dengan tiga macam cara; orang dapat mengatakan bahwa :
1. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka.
2. Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. pendirian ini dinamakan "objektivisme logis". Akhirnya orang juga dapat mengatakan bahwa
3. Nilai-nilai merupakan unsur objektif yang menyusun kenyataan. Yang demikian ini disebut "objektivisme metafisik".

Baiklah, saya coba sederhanakan saja. Jadi, secara sederhananya aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Nah, dalam hal ini telah terjadi perdebatan panjang antara para filusuf tentang tujuan ilmu pengetahuan. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi yang menekuninya, dan mereka menyatakan bahwa "ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan", sebagaimana mereka mengatakan "seni untuk seni". Sebagian berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah upaya para peneliti menjadikan alat atau jalan untuk menambah kesenangan hidup di dunia ini. Sebagian menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan. Adapun dalam Islam bahwa ilmu pengetahuan merupakan alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Karena di balik kehidupan materi ini ada lagi kehidupan yang mereka lalaikan, yakni kehidupan akhirat (QS Ar-Ruum: 6-7), maka tujuan ilmu pengetahuan dalam Islam adalah untuk menggapai Ridlo Allah SWT dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
fuihhhh....dah panjang lebar yah, ya intinya mah aksiologi itu adalah ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar. Ya sebagai contohnya jangan jauh-jauh lah, para koruptor di Negeri kita tercinta ini sebenarnya kan memanfaatkan ilmu pengetahuan di jalan yang tidak benar, klo yang (maaf) kurang ilmu pengetahuannya kan paling juga nyuri ayam, bebek atau yang lainnya lah yang paling juga berapa sih kerugian yang di dapatnya dan bandingkan sodara hukuman yang didapatkannya dengan para koruptor. Tapi yang punya ilmu pengetahuan pasti jauh lebih dapat merugikan, jangan jauh-jauh contohnya kasus BLBI saja merugikan negara berapa Triliyun?? BENAR TRILIYUNAN SODARA!!! bandingkan dengan yang nyuri ayam??Selain itu, kita mungkin sudah menjadi rahasia umum yah bahwa yang bisa mengutak-atik keuangan negara pastinya dia ahli keuangan, yang banyak melanggar hukum sudah pasti yang sangat mengerti hukum (di Indonesia lho yah...). Memang, hidup di dunia ini tidak bisa kalau tanpa uang, bahkan uang bisa dijadikan Tuhan kedua oleh mereka (atau Tuhan yang pertama yah??dan bahkan satu-satunya) di mata mereka? Kan kalau kita liat lagi, latar belakang pekerjaan mereka kan anggota DPR atau gubernur BI yang saya yakin tidak akan kekurangan untuk kehidupan sehari-harinya. Jadi, kalau kita lihat dari hirarki kebutuhan Maslow berarti kan kalau terus-menerus hanya mencari uang (para koruptor) berarti mereka masih terus berkutat di hirarki paling bawah yah (Kebutuhan fisiologi)...Saya rasa kelas mereka sudah seharusnya berada pada hirarki paling atas yaitu aktualisasi diri, jadi menunjukkan kinerja terbaiknya, bukan terus berkutat di hirarki terendah.
Hehehehe... Jadi melenceng gini.. Tenang-tenang...Abisnya kesel sih hehehe... udah ah segitu aja, takut melenceng tambah jauh lagi.























ноутбуки

Menggugurkan Prinsip “Bebas-Nilai” dalam Kajian Ilmu Sosiologi

Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.[1] Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).
Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Menurut Ignas Kleden, dalam pengertian pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.[2]
Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah.[3] Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan[4]: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.
Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan.[5] Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.
Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat.[6] Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya.[7] Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti.[8] Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd.
Ada sebuah tafsiran mengenai nilai yang dilihat menurut kaca mata sosiologi. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan Max Weber, salah satu tokoh yang mengembangkan sosiologi, yang sampai pada kesimpulan bahwa sosiologi harus bersifat bebas-nilai. Memang, tafsiran Weber mengenai rasionalitas ada yang berorientasi pada nilai.[9] Tapi, nilai apa yang dimaksud di sini? Seorang pengikut Weberian, Peter L. Berger, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin bagi seseorang manusia berada tanpa suatu nilai apapun. Ia mengakui bahwa seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah.[10] Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif. Seorang sosiolog dengan berbagai macam praduga dan subyektivitas yang mungkin muncul pada dirinya, maka dia harus mampu mencoba memahami dan mengendalikan kemencengan yang harus dihapuskan dalam karya-karyanya.
Apakah dengan pernyataan Weber yang mengambil kesimpulan bahwa sosiologi itu harus bebas nilai menafikan adanya historisitas sebuah kebenaran obyektif? Rasionalitas yang dibangun Weber ternyata secara konsisten bersifat historis, yaitu menempatkan diri di dalam makna suatu zaman di mana ilmu pengetahuan tidak mampu lagi menciptakan makna karena agama dan pengetahuan telah diceraikan.[11] Di tengah memudarnya pesona modernitas dengan nihilisme makna, Weber masih berkeyakinan bahwa Tuhan dan nilai-nilai pemandu bisa untuk dipilih. Tuhan tidak mati, dan justru pengetahuan tidak bisa lagi menciptakan nilai-nilai mengenai diri kita sendiri.[12] Maksud dari teori sosial Weber yang bersifat historis adalah karena pengetahuan yang dihasilkan dari modernitas --salah satu sisi historis peradaban pada Abda Pencerahan-- itu memiliki kekaburan makna maka kita kini sebaiknya menciptakan makna-makna baru dengan tidak menafikan peran nilai dan Tuhan (agama) sebagai pemandu.


[1] Joseph MMT Situmorang, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4, hal. 13.
[2] Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1988), cet.II, hal.24-25.
[[3] Ilyas Ba-Ynus, op.cit, hal. 37.
[4] F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Politik menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 8-10.
[5] Ibid, hal. 11-14.
[6] Gregory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. A. Murtajib Chaeri dan Masyhuri Arow, (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Sisiphus, 1999), hal. 23-24.
[7] Lihat Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001) hlm. 137-144.
[8] Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Seabury Press, 1975), hal. 15.
[9] Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tindakan rasional (menurut Weber) menurut pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Weber membagi rasionalitas tindakan ini ke dalam empat macam, yaitu: rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Rasionalitas instrumental sangat menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yangs sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau nilai akhir baginya. Lihat Paul Johnson, op.cit., hal. 220-1.
[10] Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 11.
[11] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 370.
[12] Max Weber, From Max weber, peny. H.H. Gerth dan C.W. Mills, (London: Routledge, 1948), hal. 155.

Tuesday 8 June 2010

It's a bad day

Today I went to campus and finded all my friends but my right leg still sick so I couldn't walked very well. After finished my studied at university I had chosen to stayed at cantin just for relaxation after studied and ate mie ayam, uhm so yummy...

Went to home after finished the lunch but I think that not lunch. I went to Budavisa for borrowed 3 manga and 4 goosebumps. Went home at 2.25 pm and worked all my job at home. Online with my brother notebook and still looking for all about Morphology but still don't understand about that, so confussed and want to finish it but I can't 'cause this Thursday I'll presentation in front of my class about that. I'm understand now why linguist is very difficult to understand because the other linguist very different and make me confusse to understanding.

After all my experience I think my life is so wonderfull and unforgetable by myself, it's all bless from God and my own.