Sunday 20 June 2010

Menggugurkan Prinsip “Bebas-Nilai” dalam Kajian Ilmu Sosiologi

Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.[1] Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).
Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Menurut Ignas Kleden, dalam pengertian pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.[2]
Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah.[3] Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan[4]: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.
Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan.[5] Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.
Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat.[6] Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya.[7] Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti.[8] Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd.
Ada sebuah tafsiran mengenai nilai yang dilihat menurut kaca mata sosiologi. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan Max Weber, salah satu tokoh yang mengembangkan sosiologi, yang sampai pada kesimpulan bahwa sosiologi harus bersifat bebas-nilai. Memang, tafsiran Weber mengenai rasionalitas ada yang berorientasi pada nilai.[9] Tapi, nilai apa yang dimaksud di sini? Seorang pengikut Weberian, Peter L. Berger, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin bagi seseorang manusia berada tanpa suatu nilai apapun. Ia mengakui bahwa seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah.[10] Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif. Seorang sosiolog dengan berbagai macam praduga dan subyektivitas yang mungkin muncul pada dirinya, maka dia harus mampu mencoba memahami dan mengendalikan kemencengan yang harus dihapuskan dalam karya-karyanya.
Apakah dengan pernyataan Weber yang mengambil kesimpulan bahwa sosiologi itu harus bebas nilai menafikan adanya historisitas sebuah kebenaran obyektif? Rasionalitas yang dibangun Weber ternyata secara konsisten bersifat historis, yaitu menempatkan diri di dalam makna suatu zaman di mana ilmu pengetahuan tidak mampu lagi menciptakan makna karena agama dan pengetahuan telah diceraikan.[11] Di tengah memudarnya pesona modernitas dengan nihilisme makna, Weber masih berkeyakinan bahwa Tuhan dan nilai-nilai pemandu bisa untuk dipilih. Tuhan tidak mati, dan justru pengetahuan tidak bisa lagi menciptakan nilai-nilai mengenai diri kita sendiri.[12] Maksud dari teori sosial Weber yang bersifat historis adalah karena pengetahuan yang dihasilkan dari modernitas --salah satu sisi historis peradaban pada Abda Pencerahan-- itu memiliki kekaburan makna maka kita kini sebaiknya menciptakan makna-makna baru dengan tidak menafikan peran nilai dan Tuhan (agama) sebagai pemandu.


[1] Joseph MMT Situmorang, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4, hal. 13.
[2] Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1988), cet.II, hal.24-25.
[[3] Ilyas Ba-Ynus, op.cit, hal. 37.
[4] F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Politik menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 8-10.
[5] Ibid, hal. 11-14.
[6] Gregory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. A. Murtajib Chaeri dan Masyhuri Arow, (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Sisiphus, 1999), hal. 23-24.
[7] Lihat Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001) hlm. 137-144.
[8] Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Seabury Press, 1975), hal. 15.
[9] Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tindakan rasional (menurut Weber) menurut pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Weber membagi rasionalitas tindakan ini ke dalam empat macam, yaitu: rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Rasionalitas instrumental sangat menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yangs sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau nilai akhir baginya. Lihat Paul Johnson, op.cit., hal. 220-1.
[10] Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 11.
[11] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 370.
[12] Max Weber, From Max weber, peny. H.H. Gerth dan C.W. Mills, (London: Routledge, 1948), hal. 155.

No comments: